Puasa Sunnah Ayyamul Bidh
Niatnya? Cukup di dalam hati ingin puasa ayyamul bidh.
Keutamaannya banyak, di antaranya
❶ Bekal akhirat,
❷ Seperti puasa sebulan (jika dikerjakan rutin setiap bulan, seperti puasa setahun),
❸ Lalu baik untuk kesehatan.
Dalilnya sebagai berikut:
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.”
(HR. Bukhari no. 1979)
Dari Ibnu Milhan Al Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.”
(HR. Abu Daud no. 2449 dan An Nasai no. 2434. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
إِنْ شَاءَ اللَّهُ ......
Shoum Ayyaamul Bidh untuk bulan SHAFAR 1440 H bertepatan dengan :
🗓 Hari Senin, 13 Shafar 1440 H
(22 Oktober 2018 M)
🗓 Hari Selasa, 14 Shafar 1440 H
(23 Oktober 2018 M)
🗓 Hari Rabu, 15 Shafar 1440 H
(24 Oktober 2018 M)
Puasa Senin Kamis atau bahkan puasa Dawud bagi yang mengamalkannya, tetap memiliki fadhail di bulan
SHAFAR.
Jika seseorang menggabungkan puasa Senin Kamis dengan ayyamul bidh maka hukumnya boleh, dan dia mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang di niatkannya. Karena niat dalam amal semacam ini bisa digabungkan.
Catatan :
Puasa tiga hari setiap bulan paling utama dikerjakan pada Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13,14, dan 15 setiap bulan Hijriyah. Dan jika tidak memungkinkan, tidak apa-apa dikerjakan di awal bulan atau di akhir bulan, boleh berurutan atau berselang.
Dari Mu’adzah Al ‘Adawiyyah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَتْ نَعَمْ. فَقُلْتُ لَهَا مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ يُبَالِى مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ
“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan puasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya”. Ia pun bertanya pada ‘Aisyah, “Pada hari apa beliau berpuasa?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperhatikan pada hari apa beliau berpuasa dalam sebulan.” (HR. Muslim no. 1160).
Sebarkan dan sampaikan, mudah2an ada seseorang yang shoum di karenakan sebab dari yang engkau sampaikan....
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
"Siapa yang menunjukkan KEBAIKAN kepada orang lain, maka baginya pahala SEPERTI orang yang melakukannya". [HR. Muslim: 1893]
( Wallaahu a'lam )
📝 Penyusun : Abu Syamil Humaidy ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
Mengenal Istilah Dalam Ilmu Hadits
Mengenal Istilah Dalam Ilmu Hadits
Berikut ini beberapa istilah hadits yang sering dipakai dalam Asy-Syariah :
1. Ahad
Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
2. Al-Hafizh
Orang yang kedudukannya lebih tinggi dari muhaddits, yang ia lebih banyak mengetahui rawi di setiap tingkatan sanad.
3. Atsar
Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah n, yakni kepada para sahabat dan tabi’in.
4. Dha’if
Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih atau hasan. Hadits dha’if hukumnya ditolak.
5. Hasan (baik)
Hadits yang sama dengan hadits sahih kecuali pada sifat rawinya di mana hafalan/penjagaan kitabnya terhadap hadits tidak sempurna, yakni lebih rendah. Hadits hasan hukumnya diterima.
6. Jarh
Cacat, dan majruh artinya tercacat.
7. Jayyid (bagus)
Suatu istilah lain untuk sahih.
8. Mutawatir
Hadits yang diriwayatkan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya dengan jumlah dan sifatnya itu, para rawinya mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan bersama-sama berdusta.
Perkara yang mereka bawa adalah perkara yang indrawi yakni dapat dilihat atau didengar. Hadits mutawatir memberi faedah ilmu yang harus diyakini tanpa perlu membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.
9. Majhul
(Rawi yang) tidak dikenal, artinya tidak ada yang menganggapnya cacat sebagaimana tidak ada yang men-ta’dil-nya (lihat istilah ta’dil di poin 23, red.), dan yang meriwayatkan darinya cenderung sedikit. Bila yang meriwayatkan darinya hanya satu orang maka disebut majhul al-‘ain, dan bila lebih dari satu maka disebut majhul al-hal. Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.
10. Marfu’
Suatu ucapan, perbuatan, atau persetujuan yang disandarkan kepada Rasulullah.
11. Matan
Ucapan rawi atau redaksi hadits yang terakhir dalam sanad.
12. Maudhu’ (palsu)
Hadits yang didustakan atas nama Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam padahal beliau tidak pernah mengatakannya, hukumnya ditolak.
13. Mauquf
Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada sahabat.
14. Mu’allaq/ta’liq
Hadits yang terputus sanadnya dari bawah, satu rawi atau lebih.
15. Muhaddits
Orang yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits secara riwayat dan dirayat (fiqih hadits), serta banyak mengetahui para rawi dan keadaan mereka.
16. Mungkar
Hadits yang sanadnya dha’if dan isinya menyelisihi riwayat yang sahih atau hasan dari hadits itu sendiri, hukumnya juga tertolak.
17. Munqathi’
Hadits yang terputus sanadnya secara umum, artinya hilang salah satu rawinya atau lebih dalam sanad, bukan di awalnya dan bukan di akhirnya dan tidak pula hilangnya secara berurutan. Hukumnya tertolak.
18. Mursal
Yaitu seorang tabi’in menyandarkan suatu ucapan atau perbuatan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hukumnya tertolak karena ada rawi yang hilang antara tabi’in tersebut dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan mungkin yang hilang itu adalah rawi yang lemah.
19. Muttafaqun ‘alaih
Maksudnya hadits yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih mereka.
20. Rawi
Orang yang meriwayatkan atau membawakan hadits.
21. Sahih (sehat)
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil (muslim, baligh, berakal, bebas dari kefasiqan yaitu melakukan dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan bebas dari sesuatu yang menjatuhkan muru’ah/kewibawaan) dan sempurna hafalan/penjagaan kitabnya terhadap hadits itu, dari orang yang semacam itu juga dengan sanad yang bersambung, tidak memiliki ‘illah (penyakit/kelemahan) dan tidak menyelisihi yang lebih kuat. Hadits sahih hukumnya diterima dan berfungsi sebagai hujjah.
22. Sanad
Rangkaian para rawi yang berakhir dengan matan.
23. Syadz
Hadits yang sanadnya sahih atau hasan namun isinya menyelisihi riwayat yang lebih kuat dari hadits itu sendiri, hukumnya tertolak.
24. Ta’dil
Menilai adil.
25. Tsiqah
(Rawi yang) tepercaya, artinya tepercaya kejujuran dan keadilannya serta kuat hafalan dan penjagaannya terhadap hadits.